Monday, October 21

TOQ DUYAA (baca: toq dooya:)



HANTU MALES. Dulu waktu kecil, kalo denger orang-orang tua Dayak memarahi anaknya yang menurut mereka malas, mereka bakal bilang ke tamu dengan nada sarkastis dan keras-keras,”hyaq au gaq toq duyaa hyaq na”. Artinya,”dia udah kena hantu males, tuh! “ . Atau kata sindiran lain,”meraan kah toq duyaa ana naa”. Artinya, “Kebangetan banget tuh hantu males itu.” Suara keras nan nyaring itu sengaja di depan tamu supaya anaknya malu dan mau berubah, dan juga seolah pekik dan tajemnya itu supaya suara itu bener-bener masuk telinga dan sekaligus otak si anak. Aku sebagai anak si tamu alias ibuku yang biasanya lagi ajak aku bertamu ke rumah sepupu atau keluarga lainnya cuma mendengar sepintas lalu. Untukku, suara si tante cuma sampe telinga. Entah buat anaknya. Tapi kalo itu terjadi padaku yang love language-nya adalah word of affirmation ini, suara ibuku biasanya masuk telinga, otak, dan menembus hati! Jlebbb memang rasanya.
Tapi meskipun buat aku masuk ke hati, ternyata terproses diotaknya sedikit lambat. Amat sangat lambat mungkin. Baru sekarang aku sadar kalau orang Dayak menghubungkan sifat males dengan adanya roh atau setan yang menyebabkan seseorang jadi malas luar biasa. Dulu sih istilah ini tidak begitu jadi perhatianku. Tapi setelah mengalami sendiri kemalasan luar biasa, aku merasa jangan-jangan istilah roh/ setan malas ada benernya.
Kenapa aku bisa berkesimpulan begitu? Begini ceritanya.

 JOGGING. Track sejauh 10 kali keliling stadion sepakbola sudah berkali-kali aku lakukan. Bahkan dari SMA. Tapi akhir-akhir ini, aku selalu terhenti di putaran 4 atau 6 saja, dilanjutkan dengan jalan kaki sampai 10 kali putaran. Dengan banyak sekali alasan di kepala, aku selalu berhenti sebelum target lari 10 putaran tercapai. Sakit di pinggang lah, sakit di telapak kaki lah, sakit maag lah, takut pingsan lah, maklum dong usia kepala 3 ngga perlu ambisius 10 putaran kayak waktu lebih muda lah, ahhh toh temen-temen sebaya juga hampir nggak ada yang bisa nyampe segitu buat apa maksa diri sendiri lah, atau ahhh beribu-ribu pikiran nggak penting lainnya. Dan dari sepanjang pengalaman melakukan jogging, tidak ada yang lebih berat daripada jogging 10 putaran di GBK yang aku lakukan Kamis 5 minggu lalu*. Berat karena alasan fisik? TIDAAAK. Tapi kali ini jelas sekali terasa berat karena malas. Dan ternyata rasa malas itu bermanifestasi dalam segala bentuk sakit diberbagai anggota tubuh dan berbagai-bagai pikiran. KOK BISA?
Setiap muncul rasa sakit, kali ini aku tidak berusaha melawannya. Tidak pula mengikuti reaksi perasaan yang mengikutinya seperti rasa kasihan atau khawatir. Rasa sakit itu ya aku biarkan sebagai rasa sakit saja. Rasa sakit itu aku sadari saja, aku rasakan saja tanpa bereaksi. Aku menunggu sampai sejauh apa rasa sakit itu muncul. Sampai sesakit apa. Begitu juga dengan pikiran-pikiran yang sibuk berlalu lalang mengikuti rasa sakit itu, aku sadari saja. Tidak berusaha mencari darimana datangnya, kemana perginya. Aku hanya menyadari saja keberadaan pikiran-pikiran itu tanpa bereaksi dan mencari solusi. Hingga akhirnya batinku  tersadar, mengatakan rasa sakit ini datangnya darimana. Yaitu dari RASA MALAS. BENARKAH?

ON THE WAY. Sakit pertama adalah maag. Di tengah jalan menuju GBK, tiba-tiba muncul rasa sakit maag dan mual ringan, padahal selama ini  ngga pernah samasekali sakit maag. Hggghhh, ada-ada aja nih. Kok tumben? Tadi makan apa ya? Tapi aku tetap lanjut menuju GBK sembari berpikir, liat ntar deh. Kalo memang rasa sakit memuncak pas sampai lokasi, ya mungkin nggak perlu lari.  Atau lari sesanggupnya deh. Akupun hanya menyadari rasa sakit itu sambil berpasrah dengan keadaan nanti. ANEH! DAN NYATA! Sakit maag itu hilang begitu saja! Merasa senang dengan perubahan itu, aku lalu segera membayang-bayangkan rasa bosan yang akan aku alami selama jogging nanti. Namanya juga mau keliling 10x, aku mulai menyiapakan antisipasi bagaimana nanti mengatasi rasa bosan itu.

 PUTARAN 1. Baru juga mau mulai jogging, nyeri di pundak dan leher tiba-tiba terasa. Ahhh, ada-ada aja nih sakitnya. Kan sebelumnya udah pemanasan dan peregangan yang cukup. Apa salah posisi tidur tapi baru terasa sekarang ya? Wah kalo sekarang aja pegel, bagaimana nanti kalo selesai jogging kali ini ya? 10 putaran itu banyak lhooo. Apa cukup 5-6 kali putaran aja ya? Ah tapi kan “hati kecil” ku bilang aku harus sampai 10 putaran kali ini. Untuk apa? Tidak tahu. Tidak ada penjelasannya, cuma minta dilakukan saja. Ok, ok, iya, iya, 10 putaran deh! Kecuali, kalau nanti terasa satu titik langkah lagi aku akan pingsan atau satu kali tarik nafas lagi aku bakal jatuh tak sadar, maka aku berhenti. Kalau tidak, apapun yang terjadi maka aku akan terus lari sampai 10 putaran. Atau kalo kali ini memang harus pingsan, apa aku pingsan aja kali ya! Haha Detik aku berpikir begitu, sakitnya hilang begitu saja. NYATA! EH KOK BISA? Entahlah, yang penting aku menikmati putaran pertama dengan semangat.


PUTARAN 3 & 4. Sakit yang berikutnya adalah nyeri di telapak kaki yang mulai di putaran ke-3. Lumayan serius sakitnya. Aduh, apa lagi ini? Akupun “merasa-rasa” sakitnya dengan kesadaran seolah-olah aku memandang rasa sakit itu dengan tanpa reaksi. Lucunya, trus seolah-olah rasa sakit itu minta dikasihani. Diapun menelusupkan pikiran-pikiran: Kok tega amat sih sama kaki sendiri? Ambisius amat sih? Nggak apa-apa kok istirahat bentar? Bertahap dong olahraganya, nggak boleh dipaksa? Nanti keram otot? Kalo sampai ada urat atau otot yang putus? Kalo masuk RS gara-gara jogging doang, nggak lucu lhooo, lagian ngga ada duitnya lhooo? Memasuki putaran 4, terlintas: yakin nihhhhh? Tiba-tiba setitikkkkk saja aku menyadari dalam lubuk hati nun jauh di sana bahwa jangan-jangan rasa sakit itu adalah rasa malas. Begitu aku menyadari hal itu, rasa sakitnya seketika hilang. SUNGGUH! NYATA! Seolah-olah rasa sakit itu merasa malu tertangkap basah menyamar dalam bentuk rasa nyeri di kaki. Seluruh tubuhku pun terasa segar bugar seperti baru mulai putaran 1.

PUTARAN 5. Rasa malas muncul sebagai rasa malas aja. Cukup nambah 1 putaran lagi ajalah. 6 putaran cukup kokkkk, kayak minggu lalu aja. Pikiran-pikiran berseliweran: aduhhh, mau buktiin apa sih mesti ampe 10 putaran segala? Bahkan kalo mau berhenti sekarang juga ngga dosa.Pffff, ngga bisa gitu. Harus ada kemajuan dong dari minggu lalu. Lawan ah rasa malasnya.

PUTARAN 7 & 8. Sakit yang sangat – sangat serius di perut kanan atas. Rasanya seperti kalo kebanyakan minum sebelum olahraga. Aku mulai berpikir untuk benar-benar berhenti.  Belakangan aku baru tau alasan medisnya adalah karena liver kita yang “ketarik” karena aktifitas olahraga yang cukup berat. Aku mengatur nafas panjang pendek, melambatkan ritme lari, mengeluarkan suara-suara saat mengeluarkan nafas dari mulut yang kadang terdengar seolah-olah ini lagi bela diri. Mungkin orang-orang sekeliling GBK yang kalau hari Kamis malam lebih banyak ngeceng daripada olahraganya itu mengira,” nih perempuan stress banget kayaknya ya.” Haha Biarin ah. Namanya juga menyemangati diri sendiri. Kalo bukan diri sendiri, siapa lagi??? Aku sebatang kara di GBK ini dimana orang2 lain terlihat banyak bergerombol lari dengan genk-nya. Dan tuhhh kan, begitu aku merasa-rasa sakitnya, tiba-tiba sakit itu lenyap!!! NYATA! Akupun mulai bertanya dalam hati, bagian badan apalagi yang bakal sakit ya? Semua rasa sakit ini padahal rasa sakit yang sangat masuk akal dialami oleh pelari jogging. Yang tidak masuk akal itu, rasa sakit yang hilang begitu saja saat disadari rasa itu apa adanya. Kenapa ya?

PUTARAN 9. Marahhhhhh! Entah kenapa, rasa marah memuncak luar biasa dari dalam diri. Marah karena merasa dipaksa melakukan sesuatu tanpa alasan apapun. Tidak ada keinginan untuk menang kompetisi lari. Nggak ada alasan kurus lagi. Tidak ada keinginan untuk membuat siapapun terkesan. Tidak ada alasan apa-apa, jadi apa fungsi lari 10 putaran iniiii? Non sense! Buat apa lakukan sesuatu yang tidak ada fungsinya! Mungkin aku sudah terdengar seperti orang kesurupan, karena jogging sambil sesekali berteriak jauh lebih kencang dari sebelumnya, sekedar untuk menyemangati diri. Aku agak kaget juga merasakan ada rasa marah itu. Benar2 marah. Rasa marah yang agak absurd. Seolah-olah ada sesuatu didalam diri yang terbangun dan terusik karena dipaksa melakukan sesuatu.

PUTARAN 10. Aku hampir nangis. Karena capek? TIDAKKKKK. Jelas terasa badanku masih sanggup melakukan bahkan sampai 2 putaran lagi. Tapi rasa malas itu benar-benar marahhhhh! Barulah tiba-tiba teringat orang – orang tua Dayak memarahi anak-anaknya dengan istilah roh/ setan malas. Iya, seolah-olah setan itu marahhhh luar biasa. Marah karena tidak ada “alasan lain” yang menggesernya, seperti rasa ambisius, gengsi, pelampiasan, ingin kurus, mau memecahkan rekor, atau apapun itu dari ego ku. Marah karena 10 putaran ini hanya sekadar dilakukan karena mendengar kata hati. Trus muncul setitik rasa takut. Takut kalo setan malas akan balas dendam. Hah? Pikiran apa pula itu? Tapi aku biarkan saja pikiran itu lewat tanpa berusaha menganalisanya. Nafasku tersengal-sengal. Kadang aku bernafas sambil bergumam saking melawan rasa malas yang pelan-pelan menjelma jadi rasa takut. Seolah-olah sekarang aku sedang berhadap-hadapan langsung dengan rasa malas yang bentuknya dalam pikiranku jauhhhh lebih besar daripada aku.

***
Oh akupun tersadar, kalo dulu aku begitu bersemangat jogging 10 kali putaran stadion bola itu adalah karena kepengen kurus! Bukan karena rajin dan senang olahraga! Jadi saat alasannya sudah tercapai atau alasan lainnya sudah tidak ada lagi, semangat melakukannya pun hilang. Yang tertinggal hanyalah malas. Sebelumnya, malas itu hanya tergeser oleh ambisi. Jadi bukan karena aku rajin olahraga, tapi karena aku berambisi untuk kurus. Begitu ambisiusnya, sampai rasa sakit dan dan rasa malas pun tergeser waktu itu. Tapi ingat, hanya tergeser, bukan hilang.
Terus aku berusaha menelaah lagi gerakan perasaan-perasaan apa yang selama ini mendorong aku melakukan sesuatu.
Belajar. Dulu harus harus harus belajar bukan karena rajin dan memang mau belajar. Tapi kok bisa lulus dan berprestasi? Cuma karena rasa malas belajar waktu sekolah BISA JADI digeser oleh rasa gengsi, rasa takut, rasa malu, rasa marah, rasa ingin membuktikan sesuatu untuk orang-orang tertentu, rasa haus pujian, rasa balas dendam, rasa ambisius untuk sukses. Pantesan, begitu kenal duit sedikit selama kuliah, rasa malas belajarnya membunc(y)ahhhhh luar  biasa. Haha Lulus kuliah pun jadi lamaaa, karena berkutat dengan malesnya belajar. Tapi akhirnya lulus, apakah karena rajin? TIDAKKKK, tapi lebih karena malu ama adik tingkat. Dan malu ama teman-teman seangkatan yang udah hampir semuanya sudah lulus duluan. Jadi sekali lagi, rasa malas belajar hanya tergeser oleh rasa malu. Makanya kalau ditanya apapun seputar mata pelajaran sekolah atau mata kuliah, tidak ada yang nyangkut di kepala. I'm totally not smarter than a 5th grader!

***

Tidak menyangka, jogging bisa jadi pengalaman spiritual. Pantesan kata hati meminta aku melakukan saja. Karena dia ingin menunjukkan “siapa” rasa malas itu. Dan rasa malas itu marahhhhh sekali saat aku bisa mengetahui identitasnya. Dia tidak lagi bisa sembunyi dibalik rasa perasaan atau pikiran-pikiran.
Tiba-tiba, rasanya aku dihadapkan pada kenyataan hidup yang terbuka lebar bahwa rasa malas bisa menipu dibalik banyak hal. Bisa menipu dibalik kata kemudahan, kepraktisan,ato bahkan dibalik kata  cute? Kan kedengeran cute aja kalo ngaku males bangun pagi dan males berangkat kerja ketimbang ngaku rajin bangun pagi dan rajin semangat kerja atau sekolah haha
Dan bukankah banyak sekali inovasi dunia modern untuk melayani kemalasan manusia? Aku pernah membaca di salah satu blok motivasi bisnis, cari saja manusia sekarang malas apa, bikin bisnis yang melayani kemalasan itu, pasti laku keras. Tak heran, buat yang males ngurus badan, ada salon. Dan fast food hadir untuk yang malas repot makan. Bahkan untuk makan pun malas! Bayangkan! Semua yang serba instan, sadar atau tidak sadar melayani kemalasan kita untuk menunggu. Dan bayangkan, kenapa banyak muncul bisnis cuci mobil, cuci helm, cuci sofa, baby sitter, pembantu? Bahkan handphone membuat aku tidak ingat satu nomor telepon pun dari temen-temen dan keluarga dekat kecuali nomerku sendiri. Rasa malas bisa bersembunyi dibalik pikiran: tidak sempat, lebih praktis, lebih modern, lagi capek, dll. Temukan sendiri deh alasannya. Pasti terkaget-kaget dengan temuannya.

***
 
Dan apakah dengan menyadari “malas” itu aku terbebas darinya? Iya, tapi tidak untuk selamanya. Harus latihan terus menerus untuk secara sadar tahu bahwa dia tidak datang menyamar dalam bentuk pikiran-pikiran atau perasaan-perasaan lainnya. Bahkan untuk menuliskan cerita ini saja, “malas” itu kembali menggeliat dan sok marah. Aku hanya menyadari rasanya, mengenal pikiran-pikiran yang berasal darinya dan “menatap” dia sembari tetap terus mengetik kata demi kata. Dia terlihat lemah tak berdaya. Dan hilang! Aku tersenyum. Apakah aku berhasil mengalahkannya? BISA JADI. Tapi mungkin lebih tepatnya, bukan aku yang menjadi kuat melainkan rasa itu sendiri yang melemah saat aku menyadarinya. Dan akupun bertekad bahwa segera, di saat yang tepat, aku akan bertemu dengan teman dekatnya, yaitu: rasa takut. Tunggu saja ceritanya.

*Hghhh. See? Rasa malas itu muncul kemudian dalam berbagai – bagai alasan. Buktinya, tulisan ini selesai 5 minggu kemudian setelah kejadian jogging-nya. Hati-hati, dia penipu ulung!